“Tenoooo ... uda magriph le’ ...”
Teriakan mbo selalu menjadi alarm buat aku, bahwasanya aku harus berhenti
dari latihan olah vocal di tengah lapangan luas yang berada di depan rumah ku.
“mbo, apa tadi suara teno sudah terdengar lebih lantang?”
“kamu itu setiap hari berteriak di lapangan, dan sekarang kita lagi di
dalam rumah le’ jangan disamakan kerasnya”.
Haha jelas saja si mbo bicara seperti itu, ternyata volume suara ku terlalu
kencang hingga membuatnya kaget, tapi untungnya sii mbo adalah orang yang paling
sabar pada diriku.
“le’ mbo tuh masih tidak mengerti dengan cita-cita mu, apa kamu mau menjadi
seorang penyanyi sampai harus berlatih suara setiap hari?
Atau kamu mau menjadi tentara pasukan yang setiap hari berbicara dengan
nada lantang?”.
“semua itu akan teno jawab mbo, tapi tidak sekarang, karena teno tidak mau
berharap lebih, takut sakit kalau tidak kesampean memperolehnya mbo”.
Aku sebenarnya ingin sekali bercerita kepada sii mbo mengenai impianku,
semenjak aku masuk sekolah, hingga sekarang aku duduk dibangku kelas 5 SD aku
selalu merasakan sesuatu yang kurang karena hal yang dicita-citakan oleh kebanyakan anak laki-laki di Sekolah
Dasar “Permata Harapan” tempat aku menimba ilmu, disana ada sebuah
keistimewaan bagi anak murid yang mampu menjadi seorang pemimpin.
Awalnya tidak ada yang istimewa, karena memang tidak ada untungnya, tapi
setelah ku pandangi Merah Putih yang sedang berkibar di lapangan sekolah, aku
merasakan sebuah energi berbeda yang ingin sekali ku nikmati juga.
“mbo, tono pamit dulu ia”
“hati – hati le’ ..”
Perjalanan setapak yang begitu panjang harus kulalui enam kali dalam
seminggu, ya..karna itu memang jadwal sekolah ku setiap hari. Aku tinggal di
Ibu kota dari negara ku sendiri, tapi ini yang membuat aku bingung, kenapa
tempat untuk membuat aku pintar begitu jauh letaknya dari gubukku.
Awalnya aku harus melewati lapangan luas yang dipenuhi oleh tumpukan sampah
yang sangat banyak, kemudian melewati bangunan-bangunan tinggi yang aku sendiri
tidak tahu apa namanya, karena tingginya melebihi pohon kelapa dan tiang
listrik yang pernah kulihat, memang sungguh – sungguh kota besar yang ajaib
bagiku.
“selamat pagi anak – anak,
Seperti biasa disetiap tahun pada tanggal 17 Agustus kita selalu adakan
upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan negara kita, dan petugas
upacara tahun ini adalah kelas 5B. Jadi, besok siang kita akan memulai latihan
baris-berbaris sekaligus menentukan siapa saja yang bertugas menjadi pemimpin
upacara, pengibar bendera dan pemimpin paduan suara”
Aku tidak boleh berharap, selama ini aku tidak pernah ditunjuk untuk
menjadi petugas apapun, paling-paling aku hanya menjadi anggota paduan suara.
Walau sebenarnya aku ingin sekali...
“kepada Bendera Merah Putih....
Hormat grakkk...”.
“le ‘ sudah magriph ... ayo masuk ... sudahi dulu teriak-teriakkannya....”.
“mbo, apa kita punya bendera merah putih?”.
“buat apa toh le’ ?”.
“teno mau pasang di depan rumah mbo, sebentarlagikan 17 Agustus”.
“yampun le’ jangankan bendera merah putih.. tiang benderanya saja kita
tidak punya, trus kamu mau pasang pake apa coba?”.
Memang benar kata sii mbo, jangankan tiang untuk memasang bendera, tiang
penyanggah gubuk ku saja sudah rapuh, oh Tuhan, apa karena aku tidak punya
apa-apa jadi aku tidak boleh melihat keindahan Merah Putih berkibar dilangit biru ini?, kadang
aku menangis sendiri karena harus tinggal di tengah kota yang sangat besar ini,
kenapa juga orang kecil seperti kami harus berada disini? Ini sangat
menyakitkan buat aku.
“mbo aku pamit..”.
“hati – hati yaa le’ ..”.
“teno minta doa restunya ia mbo”.
“tumben kamu minta doa restu dari mbo? Memang kamu mau ngapain?”.
“mudah-mudahan saja teno terpilih”.
Aku memang sengaja tidak pernah mau memberitahukan sii mbo mengenai apapun
yang ingin aku lakukan, takut sii mbo kecewa karena khayalan ku yang terlalu
tinggi dan keinginanku yang terlalu banyak.
Tapi Tuhan, aku mohon restumu, untuk kali ini saja .... aku ingin sekali merasakan menjadi seorang pemimpin disekolah ..
“selamat pagi anak-anak”.
“pagi buu ...”. seruan dari teman – teman sekelas ku selalu membuat aku merinding,
apalagi mereka itu layaknya manusia yang sangat sempurnya dimata ku.
“seperti yang ibu bilang kemarin, kalau nanti siang kita akan mulai latihan
upacara untuk 17-an besok, karena kelas kita yang akan bertugas, jadi sekarang
kita akan adakan pemilihan untuk pemimpin upacara dan lain-lainnya”.
“bu, yuni...Aku siap menjadi dirigen dalam paduan suaranya” ceplosan rena
yang tidak mengagetkan aku dan teman-teman sekelas lagi, karena rena memang
pandai sekali dalam musik. Setiap tahun kalau ada perlombaan paduan suara antar
kelas, rena selalu menjadi diregen terbaik yang dipilih oleh kepala sekolahku. Alunan
tangannya untuk menghitung ketukan lagu sangat berirama dan tepat.
“aku mau menjadi pasukan pengibar benderanya bu....” pinta alin. Orang cina
paling kaya dan selalu percaya diri di kelas ku, hahaha ... alin itu gadis
cantik, tapi aku sering kesal karena keangkuhannya. Di sekolah ini, alin
bergabung dalam kegiatan kurikuler pramuka, jadi tidak perlu diragukan lagi mengenai
kepandainya dalam baris–berbaris.
“oke alin, kamu cari dua orang lagi untuk mendampingi kamu menjadi pengibar
bendera Merah Putih, karena seperti yang kalian tahu, pengibar bendera itu
harus tiga orang”. jawab bu yuni dengan senang hati.
Oh Tuhan...Aku ingin terlibat untuk menjadi petugas upacara besar ini, tapi
aku tidak berani mengajukan diri, sedangkan peluang yang kosong hanya untuk
menjadi pemimpin upacara, dan itu posisi yang sangat penting, apalagi upacara
besar seperti 17 Agustus.
“Dio..bagaimana kalau kamu yang menjadi pemimpin upacara?” pinta bu yuni.
Dio itu ketua kelas ku, dia memang anak yang pandai, tapi menurut aku dia
tidak tegas, dan suaranya juga tidak lantang seperti aku.
Hmmm dio pasti tidak bisa menerima tantangan ini, harusnya aku yang
mengajukan diri... tapi kenapa aku tidak berani mengatakannya kepada bu yuni yaa...
“saya, tidak bisa bu..” tolak dio spontan.
“bagaimana kalau saya saja bu?” pinta romi.
Romi itu saingan berat ku, dia sangat gagah dan selalu bisa disegani oleh
orang-orang.
Sama seperti alin, mungkin karena dia orang kaya, tapi hebatnya lagi, romi
sudah sering sekali menjadi pemimpin upacara.
“bu yuni...Bagaimana kalau saya mencalonkan teno ...” usul melani.
Yaa Tuhan...Aku kaget...kenapa melani bisa berkata seperti itu iaa?
Melani itu sahabat ku, dia memang dekat denganku dan si mbo,
Mungkin karena itu dia bisa merasakan apa yang aku rasakan, saat ini aku
ingin sekali menjadi pemimpin, paling tidak aku ingin mencoba satu kaliii
saja....ijinkan aku ya Tuhan ....
“baiklah, kita punya dua kandidat untuk menjadi pemimpin upacara,
Ada romi dan juga teno, kalian harus ingat bahwa ini posisi yang sangat
penting di dalam sebuah upacara, jadi kalian harus bisa menunjukkan kepada ibu
bahwa kalian adalah yang terbaik, kita akan pilih dengan tes ketegasan memimpin kalian
saat dilapangan”
Saat-saat latihan pun tiba,
Romi memang sulit untuk ditandingi, tapi aku yakin dengan kemampuan yang
aku punya ditambah dengan ketekunanku melatih suara disetiap harinya, aku pasti
mampu menaklukan semua orang yang akan terlibat ditengah lapangan upacara.
“latihan hari ini selesai..dan pengumuman untuk mengetahui siapa pemimpin
upacara kita dalam rangka 17-an, akan ibu beritahu besok siang saat kita akan
latihan lagi”
Perjalan pulang kembali kutapaki, sama seperti hari-hari kemarin, aku harus
melewati jalanan yang sangat aneh dan memang tidak asing lagi bagiku.
Keinginan ku begitu besar untuk menjadi seorang pemimpin upacara.
Mungkin seharusnya biasa saja, tapi tidak demikian dengan sekolah ku.
Siapapun mereka yang sudah pernah menjadi seorang pemimpin dalam sebuah
upacara, dia akan dihormati dan disanjung. Semua itu diyakini karena mereka
yang menjadi pemimpin upacara adalah orang hebat dan berani, terbukti mereka telah
mampu membuat para peserta upacara menjadi patuh pada setiap kata-kata yang
keluar dari mulutnya dan terpandang angkuh ditengah lapangan yang luas
sendirian.
Sesuatu yang sangat keren bagiku. Lima tahun aku memendam
keinginan untuk menjadi pemimpin upacara, tapi tidak akan kubiarkan kegagalan
terjadi pada diriku. Aku terus berlatih setahun belakangan ini, target utama ku
memang acara 17-an ditahun ini. Motivasi ini aku dapati dari kakak kandungku
yang bernama Satria, Sekarang dia duduk dibangku kelas 3 Sekolah Menengah
Pertama, dia seorang Paskibraka yang sangat aku kagumi, sudah 3 tahun
berturut-turut kak’ satria mendapatkan penghargaan dari sekolahnya karena
menjadi pemimpin upacara terbaik di sekolahan.
“sungguh ingin menjadi pemimpin upacara”, pergumulan yang begitu dasyat
terjadi dalam hatiku.
“kamu itu kenapa le’ ...?”
“teno mau seperti kak’ satria mbo”
“maksud kamu gimana ten?” Kak’ Satria tiba-tiba saja penasaran dengan kata-kata
yang keluar dari mulutku, tapi akhirnya dia paham apa yang ku maksud, dan kak’
satria pun mengajukan dirinya untuk melatihku lebih dalam lagi mengenai tekhnik
baris berbaris dan tekhnik vocal yang baik untuk seorang pemimpin upacara.
“hari ini ibu akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin upacara
selasa depan dalam rangka memperingati HUT Kemerdekaan RI, dan yang akan
menjadi pemimpin upacara adalah ROMI”.
Rasanya duniaku hancur begitu saja, karena semua yang kulakukan sia-sia, ternyata
aku belum mampu menjadi seorang pemimpin yang baik hingga bu’ yuni pun belum
memberikan kepercayaan ini kepadaku.
Dan ditengah kesendirianku, ...
“kamu tidak apa-apa kan ten?” tanya melani menghiburku ..
“nda apa-apa mel, mungkin aku harus berlatih lagi dari romi, lagian aku kan
juga masih bisa menjadi pemimpin upacara di HUT Kemerdekaan tahun depan,
mudah-mudahan saja aku masih punya kesempatan”.
Sebenarnya hatiku menangis, tapi aku ini lelaki, jadi malu sekali saat harus
merintih karena kekalahanku.
Hari kemerdekaan tinggal empat hari lagi, dan seperti tahun-tahun
sebelumnya, aku hanya menjadi anggota paduan suara, mungkin belum rejeki buat
aku.
“tumben le’ ...Beberapa hari belakangan ini, mbo tidak melihat kamu
berteriak-teriak lagi dilapangan depan?”
“hahaha..teno lelah mbo, itu hanya membuat teno berharap saja”.
Saat-saat gladeresikpun tiba, ini merupakan waktu yang menegangkan bagi
bu’yuni karena harus melihat keseriusan murid kelas 5 B dalam persiapan
menyambut upacara besar yang hanya ada satu tahun sekali dan yang menegangkan lagi adalah ketika Pemilik Yayasan akan ikut datang sebagai peserta upacara.
Tiba – tiba saja ...
“apa ibu wali kelas 5 B?”
“ia benar, ada apa mba?”
“saya mengantarkan surat keterangan dari dokter, adik saya, Romi Adreaneta
kemaren malam masuk rumah sakit dan harus dirawat”.
“karena apa?” kepanikan dari raut wajah ibu yuni pun mulai terlihat jelas.
“romi kelelahan dan terkena tifus, jadi harus beristirahat di rumah sakit
bu”
Tidak ada seorang muridpun yang mengetahui kejadian ini, ditengah lapangan kami
semua kelelahan menunggu sang pemimpin upacara memasuki tempat latihan, sampai
pada akhirnya ..
“Tenoooo ...”
Suara kencang yang kudengar bersumber dari dalam kelas 5 B langsung
menyengat telinga ku, sudah ku duga kalau itu adalah teriakan dari ibu yuni yang memiliki suara nyaring hampir sember.
“tapi kan seharusnya, romi bu?”.
“romi sakit, dan kamu yang harus menggantikan dia” pinta bu’ yuni secara
paksa dengan dibalut kepanikan yang begitu terlihat jelas.
Aku bingung, apa aku harus senang mendengarkan kabar ini, tapi sulit
dipungkiri rasa grogi yang begitu besar tiba-tiba saja menyelimuti tubuhku
hingga kaku dan tak mampu berbuat apa-apa selain menerima tugas mulia ini.
“kepada bendera Merah Putih ...
Hormat grakkkk....”.
Iringan paduan suara yang begitu indah membuat aku hampir menangis karena terharu,
tak bisa dibayangkan aku mampu berada ditengah lapangan sekolah yang begitu
luas ini,
Walaupun upacara kemerdekaan masih dua hari lagi, tapi aku sudah mampu
merasakan getaran kemerdekaan lewat kibaran bendera Merah Putih saat gladeresik
hari ini.
“anak-anak, hari ini adalah latihan terakhir kita, karena ibu tidak mau
kalian kecapean dan sakit, jadi besok kita masuk sekolah untuk belajar seperti
biasa tanpa harus latihan upacara, semua mengerti?”.
“mengertiii....buu....” seruan yang begitu dasyat dari murid kelas 5 B
mengiringi langkah kaki kami untuk keluar gerbang dan pulang kerumah.
[17 Agustus 2010]
“mbo, teno pamit dulu ia”.
“inikan masih jam 6 kurang seperempat le’...Kenapa cepat sekali berangkatnya”.
“teno jadi pemimpin upacara mbo, seorang pemimpin itukan harus memberikan
teladan yang baik toh mbo? Tidak boleh asal, apalagi terlambat”
“waaah luar biasa kamu le' kalau jadi pemimpin saat kamu sudah dewasa nanti, harus tetap jadi teno yang sederhana ya lee ...”
Pesan sii mbo akan selalu jadi panutan dalam hari-hari ku.
Walau matahari belum menunjukkan senyumnya pada ku, tapi aku yakin dia
sudah menatap aku dari kejauhan dan akan menyinari langkahku sampai aku tiba
disekolah,
Benar-benar tidak bisa dibayangkan, karena aku akan menjadi pemimpin
upacara ditengah masyarakat sekolah “Permata Harapan”, dan kak’ satria pasti bangga padaku.
“kamu, tidak apa-apa mey?”
“kaki aku sakit ka...” Tangisan meysaroh sangat membuat aku takut, jelas
saja, pasti meysaroh merasakan sakit yang luar biasa, kakinya terkilir hingga
bengkak karena dia jatuh dari sepeda yang dikendarainya.
Meysaroh itu tetangga ku, dia juga murid Sekolah Dasar “Permata Harapan”, tapi dia 2 tahun dibawah aku, anak orang kaya yang sangat sederhana, karena setiap hari
mengendarai sepeda mininya untuk bisa tiba disekolah, tapi kejadian yang
mengenaskan menimpanya hari ini. Ban sepedanya bocor hingga membuatnya
tergelincir dan masuk ke got yang cukup dalam untuk ukuran anak SD seperti
kami,
“Oh Tuhan cobaan apalagi ini.”
Sang raja siang pun sudah memberikan cahayanya ke dunia ini, dan itu pertanda bahwa sebentar lagi upacara akan dimulai, walaupun aku tidak tahu sudah jam brapa skarang. Pergumulan yang begitu berat bagiku.
“ayo, naik kepundakku”.
“sepeda aku bagaimana ka?”.
“kita taruh saja disini, nanti baru diambil lagi, yang penting itu kaki
kamu harus segera diobati”.
Perjalanan setapak kembali ku lalui, karena rute rumah ku dan meysaroh
memang searah. Sepanjang jalan aku tidak memikirkan seberat apa orang yang ku
gendong saat itu, karena fikiranku terfokus pada lapangan sekolah yang hendak
dijadikan tempat upacara bendera. Apa yang sedang terjadi saat ini sungguh
tidak membuat aku lelah, aku ingin cepat sampai ke rumah meysaroh dan
menyerahkan anak ini ke orangtuanya kemudian kembali ke sekolah.
Matahari semakin membuka dirinya untuk menyinari perjalanan panjangku.
Untuk kesekian kalinya aku melewati lapangan luas yang penuh dengan
tumpukan sampah dan jalan setapak, fikiranku terfokus hanya untuk tiba di sekolah, kemudian
memasuki lapangan upacara dan memimpinnya dengan hikmat.
Akhirnya tiba juga aku didepan gerbang sekolah, pemandangan yang menakjubkan,
karena bendera Merah Putih sudah berkibar dengan indah tanpa keberadaanku.
Sungguh pahlawan sejati, ini yang kurasakan didepan gerbang yang tertutup
rapat dengan gembok terpasang kuat disekelilingnya,
ya... sebuah peringatan bahwa tidak boleh ada yang masuk lagi karena
upacara sedang berlangsung.
Penghormatan terakhirpun kuberikan kepada Sang Saka Merah Putih diiringi
derasnya kucuran keringat yang membasahi kulit kepalaku.
“Romi memang pemenangnya, mungkin dia adalah murid yang kuat karena mampu bangun
dari sakitnya untuk merayakan kemerdekaan negara Indonesia bersamaan dengan teman –
teman sekolahmu le’...”
“dan teno bukan pemimpin yang baik mbo..Buktinya saja teno terlambat,
sampai – sampai tidak bisa masuk karena gerbang sudah di kunci”
“kamu tidak baik tapi kamu yang TERBAIK le’ ...
Kamu itu pahlawan sesungguhnya, memperingati hari Kemerdekaan tidak mesti
dengan menjadi pemimpin upacara toh?, pemimpin yang baik itu layaknya pahlawan
tempo dulu, mereka menolong yang miskin, dan melindungi kaum yang susah, jadi
buat mbo, kamu adalah pahlawan massa kini”.
“dan kak’ satria mau memberikan lencana penghargaan ini buat kamu dek,
karena kamu telah berhasil menjadi pemenang tahun ini”.
****
“selamat malam mbo darsih, teno nya ada?”
“ada apa ya bu dina?” sahut teno dari dalam
“ini loh teno ... ibu mau memberikan hadiah untuk teno, sebagai ucapan terima kasih ibu karena sudah menolong meysaroh tadi
pagi, teno benar – benar seperti pahlawan bagi keluarga kami, kalau teno tidak
secepatnya membawa putri kami ini pulang, mungkin kakinya meysaroh bisa
terinfeksi, jadi saya mau berikan hadiah ini untuk teno”.
Luar biasa indahnya, bahkan lebih indah dari pengumuman sewaktu aku dipilih
untuk menjadi pemimpin upacara.
Trima kasih Tuhan untuk semangat pahlawan yang Engkau berikan pada diriku,
Meskipun aku tidak bisa mengajak semua orang untuk menghormati bendera
Merah Putih yang berkibar dilapangan sekolah, tapi aku bisa mengibarkan bendera
Merah Putih di hatiku.